Dear Santri
Terimakasih kepadamu yang telah mengenalkanku kepada Allah
💕💕
Langkahnya santai berjalan menuju pagar rumah. Wajahnya tersenyum membiarkan angin pagi beraroma teh membelai wajahnya.
Dialah Fatimah Az-Zahra gadis kecil penghafal Al Qur'an yang tinggal bersama nenek di desa.
Kedua orangtuanya menitipkan Zahra kepada nenek karena pesantren yang dikelolanya hampir mengalami kebangkrutan.
Mereka takut jika Zahra haus kasih sayang dan menjadi brutal tak bisa terdidik, karena Zahra harapan mereka untuk meneruskan pesantren.
"Assalamualaikum".
Sapa ustad Adzim ketika melihat Zahra dan nenek yang sudah menunggunya di depan rumah.
Begitulah aktifitas ustad Adzim setiap hari, menjemput keponakannya untuk berangkat sekolah bareng.
"Waalaikumsalam". Jawab mereka bersamaan.
"Nenek, Zahra berangkat dulu ya". Ucap Zahra sambil menyalami tangan nenek.
"Iya, ingat sabarlah menuntut ilmu dan patuhi perintah om Adzim, nanti sepulang sekolah harus. . ."
"Cepat pulang". Ucap Zahra penuh semangat.
"Cucu nenek pintar". Tangan nenek dengan lembut mengusap kepala Zahra.
"Bu kami berangkat dulu, assalamualaikum". Ustad Adzim menyalami tangan nenek.
"Waalaikumsalam, hati hati dijalan".
Ustad Adzim mengangkat Zahra dan mendudukkannya di boncengan, dia mengayuh sepeda tua itu menyusuri hamparan kebun teh yang luas.
"Om lebih kencang lagi om". Teriak Zahra sambil menikmati hembusan angin pagi yang menerpanya.
"Baiklah, pegangan yang erat ya".
Di kayuhnya sepeda tua itu semakin kencang.
Hingga sampai di suatu warung ustad Adzim menghentikan sepedanya.
"Zahra tunggu disini dulu ya, om mau mengantarkan pesanan, jangan bergerak nanti jatuh".
"Siap om".
Zahra mengacungkan jempolnya pada ustad Adzim menyiratkan senyuman di wajah tampan ustad Adzim.
Pandangan mata Zahra tertuju pada sebuah keluarga yang sedang bersantai dibawah pohon.
Seorang anak yang sedang bermain bersama ayahnya dan ibu yang meneriakinya penuh kasih sayang.
"Hati hati sayang nanti kamu jatuh". Teriak ibu itu ketika melihat anaknya berlari.
Deg. . .
Zahra teringat akan Abi dan umi yang sudah lama tidak mengunjunginya, dia rindu bermain bersama Abi dan umi.
Tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya.
"Zahra mengapa menangis?". Tanya ustad Adzim ketika melihat cairan bening itu menetes.
"Bahagia sekali anak itu, Zahra ingin seperti anak itu".
Sedih sekali melihat Zahra yang menangis sepagi ini.
"Zahra, kita berangkat yuk".
Zahra hanya mengangguk.
Ustad Adzim mengayuh sepedanya meninggalkan warung tapi Zahra tetap menoleh memperhatikan keluarga bahagia itu.
"Om, kenapa abi dan umi jarang mengunjungi Zahra? Apa mereka sudah melupakan Zahra?, Apa Zahra nakal hingga abi dan umi tidak ingin bertemu Zahra?".
"Siapa bilang mereka tidak menyayangi Zahra? Mereka sayang Zahra, hanya saja Allah masih belum menghendaki mereka bertemu Zahra".
Mungkin benar apa yang dikatakan om Adzim, Zahra harus sabar sampai masanya datang.
Sesampainya di sekolah, kedatangan Zahra disambut hangat oleh Shofi.
"Assalamualaikum ustad Adzim, assalamualaikum Zahra".
"Waalaikumsalam".
"Shofi kok diluar?, Teman teman yang lain udah masuk kelas loh".
"Shofi menunggu Zahra datang ustad, apa ustad akan memarahi Shofi karena tidak masuk kelas?".
"Tidak, ustad tidak akan memarahi Shofi, ayo masuk".
"Shofi, ayok".
Shofi hanya mengangguk dan berjalan sambil menggandeng tangan Zahra. Mereka duduk bersama sambil mendengarkan ustad Adzim yang sedang mengajar.
Tiba tiba
Drttt. . . Preeeeet.. .
"Ustad, Febri kentut ustad". Ucap Haris ditengah tengah pelajaran.
"Nggak ustad, Haris bohong".
"Dia bohong ustad, bau kentutnya dari Febri".
Perlahan suasana kelas menjadi ramai tatkala bau kentut yang mulai menyebar sementara Haris dan Febri terus saja bertengkar.
"Sudah sudah jangan ramai, yang lain tolong tenang".
Dalam hitungan detik kelas menjadi tenang kembali.
"Jadi siapa yang berbohong?".
"Haris ustad".
"Enak saja, kamu kan yang kentut". Ucap Haris menyenggol lengan Febri.
Ustad Adzim hanya tersenyum, sambil membagikan telur mentah pada masing masing santri.
Mereka semua bingung ketika melihat ustad Adzim yang tiba tiba memberikan telur.
"Kalian semua tolong sembunyikan telur ini di tempat rahasia, jangan sampai orang lain tau tentang telur milik kalian".
Lagi lagi para santri dibuat bingung. Mereka keluar kelas untuk menyembunyikan telur mereka.
"Zahra. . . Tunggu. . .".
Zahra menoleh kearah Haris yang berlari kearahnya.
"Kita ngumpetin telurnya barengan aja ya".
"Gak mau, kamu gak ingat apa kata ustad Adzim tadi?".
Haris hanya terdiam mendengarnya.
"Yasudah aku duluan ya".
Zahra melangkah meninggalkan Haris.
Lain halnya dengan Febri dia terus berjalan sambil menyandungkan puisi pada telur.
"Wahai telur, dimanakah aku harus menyimpanmu?".
Terlintas sebuah ide di benak Febri ketika melihat mang Ujang yang berjalan menjajakan bakso.
"Mang Ujang".
"Naon atuh?".
"Mang, boleh ngampung rebus telur gak?".
"Boleh boleh".
"Aku simpan diperut ajalah kan gak akan ada yang tau". Ucap Febri dalam hati.
"Ini, sudah matang telurnya".
"Hatur nuhun mang".
"Ya".
"Asik". Febri melirik ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang mengetahuinya. Dirasa aman dia melahap telur itu cepat.
Haris berjalan dengan membawa sebuah cangkul. Dia melirik kearah sekitar. Aman. Senyuman evilnya terpampang dan dia mulai menggali tanah untuk menyimpan telurnya.
"Kalo sudah dikubur gini siapa yang mau cari coba? Ah pinter kau hari ini". Ucapnya bangga pada dirinya sendiri.
Lain halnya dengan Zahra, dia berjalan dan meletakkan telur itu di sebuah kandang ayam.
"Tidak, aku tidak bisa menyembunyikannya disini".
Dia mengambil lagi telurnya dan membawanya kembali ke sekolah.
Disekolah para santri sudah berkumpul dan sepertinya hanya Zahra lah yang datang belakangan.
"Apa kalian sudah menyembunyikannya?".
Sudah ustad.
"Aku belum menyembunyikannya". Ucap Zahra sedikit ragu.
"Mengapa tidak menyembunyikannya?".
"Aku tidak tau harus sembunyikan dimana, karena Allah pasti tau apa yang aku sembunyikan".
Ustad Adzim tersenyum bangga dengan kecerdasan Zahra.
"Ya segala usaha kalian pasti Allah akan mengetahuinya. Jadi siapa yang berbohong?".
Tatapan mata ustad Adzim tertuju pada Haris dan Febri.
"Sebenarnya saya yang kentut ustad". Febri memberanikan diri untuk mengakui kesalahannya yang mendapat sorakan dari para santri.
"Yang lain bisa tenang?".
Seketika suasana kelas menjadi tenang.
"Apakah kalian pernah mendengar kisah Abu Abdurrahman Hatim bin Unwan?".
"Tidak ustad". Serempak para santri menjawab.
"Abu Abdurrahman Hatim bin Unwan atau dikenal sebagai sufi masyhur dengan akhlak yang mulia dia mendapatkan julukan as sham atau si tuli Karena menjaga persaan seorang perempuan yang bertanya kepadanya".
Para santri dengan semangat mendengarkan cerita ustad Adzim.
"Suatu hari Hatim kedatangan seorang perempuan renta yang ingin berkonsultasi masalah agama.
Namun tiba-tiba terdengar suara kentut dari perempuan tersebut hingga terdengar oleh Hatim.
Mendengar bunyi kentut, Hatim tidak beraksi apa-apa. Ulama ini mengerti benar perasaan yang dihadapi oleh perempuan yang ada didepannya.
Perempuan tersebut kaget dan berkata "Saya ingin bertanya sesuatu". Kemudian Hatim pura-pura tidak mendengar dan mengeraskan suaranya,"Ada apa bu?"
"Saya ingin bertanya sesuatu," jawab perempuan tersebut dengan suara yang lebih keras lagi
"Ada apa ya bu?" tanya Hatim mengulangi pertanyaannya.
"Ada apa ya bu?" tanya Hatim mengulangi pertanyaannya.
"Maaf saya ingin bertanya sesuatu!" jawab perempuan tersebut dengan suara sangat lantang.
"Ooo Anda ingin bertanya. Maaf kalau berbicara tolong suaranya dikeraskan karena pendengaran saya kurang bagus. Saya ini tuli," jawab Hatim dengan suara yang tak kalah lantangnya. Mendengar perkataan Hatim, perempuan itu menjadi lega. Ia mengira hatim benar-benar tuli.
Sejak itu Hatim menjadi orang yang pura-pura tuli demi menjaga perasaan perempuan hingga beliau meninggal".
"Jadi teman teman santri semuanya, bisakah kalian seperti Hatim?"
"Bisa ustad". Serempak semuanya menjawab.
"Kalau Haris gimana? Apakah sanggup mencontoh Hatim?".
"Insyaallah ustad".
"Tapi ustad, Hatim kan berbohong dengan berpura pura tuli". Tanya Shofi.
"Benar, kita tidak boleh berbohong
ويل للمكذ بين
Yang artinya celaka bagi para pendusta, tetapi jika kita berbohong untuk kebaikan maka tidak apa apa, apa sudah paham?".
ويل للمكذ بين
Yang artinya celaka bagi para pendusta, tetapi jika kita berbohong untuk kebaikan maka tidak apa apa, apa sudah paham?".
"Paham ustad".
"Ya sudah kita lanjutkan dengan mengaji, jadi siapa yang pertama maju?".
"Aku".
"Aku".
"Aku".
Subhanallah diusia sedini ini mereka berebutan untuk mengaji yang pertama.
💕💕
Malam hari yang dingin Zahra duduk di samping nenek sambil memandangi bintang yang bertaburan.
"Cita cita Zahra jika sudah besar nanti ingin jadi apa?".
"Zahra ingin jadi pramugari nek, biar bisa menemani kak Mirza ketika menerbangkan pesawat".
Zahra semakin mendekatkan diri kepada nenek.
"Nek, ceritakan tentang kak Mirza, biar nanti ketika bertemu kakak lagi Zahra tambah akrab".
Memang semenjak kecil Zahra jarang bermain bersama Mirza, karena kesibukannya di dunia penerbangan.
"Kakak mu itu lelaki yang baik hati, banyak wanita ingin ta'aruf dengannya".
"Ta'aruf itu apa nek?".
"Mengenalkan kedua keluarga yang akan menjodohkan salah satu anggota keluarga".
"Seperti om Adzim dan kak Fitri?".
"Iya sayang".
"Nek mengapa Abi dan umi jarang mengunjungi Zahra?, Apa mereka lupa?".
"Mereka tidak melupakan Zahra, lihat mereka membelikan Zahra pakaian yang bagus, memberi Zahra uang dan menyekolahkan Zahra disini".
"Tapi Zahra tidak butuh itu semua nek, Zahra ingin Abi sama umi ada disini menemani Zahra".Air mata Zahra kembali menetes.
"Suatu hari nanti Zahra akan kembali bersama mereka, bersabarlah mereka pasti akan datang menjemput Zahra ketika Zahra menyelesaikan hafalan Al Qur'an".
"Tunggu sebentar ya, nenek harus menanak nasi".
Kini tinggallah Zahra sendiri di teras rumah, meratapi dirinya yang kesepian dibawah sinar rembulan.
Tuk. . .
"Zahra. . .".
Sayup sayup Zahra mendengar bisikan seseorang, dia menoleh melihat Febri yang tengah memanggilnya.
"Ada apa feb?".
"Saat". Jari telunjuknya menempel pada bibir memberikan isyarat kepada Zahra "kecilkan suaramu ayo ikut".
"Kemana?".
"Udah ikut aja".
"Sebentar ya aku izin dulu sama nenek".
Febri menepuk keningnya "gak usah, ayo".
Dengan cepat tangan Febri menarik tangan Zahra dan membawanya ke masjid, dia tidak menghiraukan ucapan Zahra yang terus meronta.
"Febri lepasin, apaan sih? Kan aku belum izin ke nenek".
"Lihat tuh, Abang itu pacaran". Jari telunjuk Febri mengarah pada dua orang di dekat masjid yang sedang bermesraan
"Jangan suudzon lah feb".
"Dengarkan perkataan mereka, romantis, sana gih ingatkan Abang itu aku takut".
Dari kelihatannya memang benar mereka pacaran, mesra didekat masjid sambil bergandengan tangan. Astaghfirullah.
Perlahan Zahra menghampirinya. Hingga dua orang itu terkejut menyadari kehadiran Zahra.
"Assalamualaikum bang. . . Neng. . .".
"Waalaikumsalam".
"Abang sama neng lagi ngapain? Kok berduaan? Didekat rumah Allah lagi".
"Lu gak tau? Kita lagi pacaran, sono main jauh jauh ganggu orang dewasa pacaran aja nih bocah".
"Astagfirullah haladzim bang, Abang gak takut akan murka Allah?, Pacaran itu dilarang agama bang".
Cowok itu hanya menghela nafas dan berkata.
"Emang sih dek pacaran dilarang agama tapi kita kan masih muda, tunggu panggilan Allah saja dan bertobat ketika tua, simpel kan sono main jauh".
"Maksud Abang panggilan Allah seperti itu?".
Zahra menunjuk pada kerumunan orang yang tengah berjalan kearah masjid dengan membawa keranda. Terdengar lafadz lailahaillallah mengiringi langkah mereka semua.
"Kampret nih bocah, lu nyumpain gua mati?".
"Nggak bang hanya mengingatkan aja, Abang gak kasihan sama kedua orang tua Abang?".
"Ngapain kasihan? Orang tua gua baik baik aja dirumah, lu mau silaturahmi ama mereka? Ya udah sono".
"Bukan bang, malaikat zabaniyah akan meletakkan kerikil panas ditelapak tangan orang tua yang membiarkan anaknya pacaran, Abang gak kasihan".
"Sok ceramahin gua lu".
"Rif, sepertinya apa yang dikatakan anak kecil ini ada benarnya juga, aku ingin kita ta'aruf saja, temui keluargaku jika kau benar benar menyayangiku".
"Gak bisa gitu dong yang".
"Kenapa? Kamu gak berani menemui kedua orang tua ku?".
"Abang, neng. Zahra pulang dulu ya, assalamualaikum".
"Waalaikumsalam, terimakasih ya dek atas nasehatnya".
Zahra pergi meninggalkan mereka yang tengah berdebat. Dia harus cepat cepat pulang sebelum nenek tau dia keluar tanpa izin.
"Wuih, apa yang kamu katakan? Kok mereka saling marah?".
"Gak ada kok, hanya mengingatkan mereka saja, ayo balik".
Dalam hati Zahra dipenuhi rasa kekhawatiran, dia takut nenek akan memarahinya ketika dia sampai.
Perlahan dia mengendap endap mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Langkah kakinya berjalan perlahan menuju pintu berharap nenek tidak menyadari kepergiannya tadi.
"E'hem". Zahra terkejut mendengar suara itu. Dari kejauhan nenek memperhatikan Zahra dengan tangan yang disilangkan didepan dada.
"Eh nenek".
"Dari mana? Kok gak pamit?".
"Iya nek tadi, Zahra membantu Febri".
Mungkin jujur lebih baik. Gadis kecil itu memberanikan diri dan menceritakan semuanya kepada nenek.
"Maafkan Zahra nek".
"Iya, lain kali izin dulu sebelum pergi".
"Siap nek".
Kring. . . Kring . . .
Telepon yang bertengger diatas meja berdering, nenek segera bangkit dari tempat duduknya dan menjawab telepon seseorang.
"Halo. . . Waalaikumsalam. . . Alhamdulillah baik. . . Keluarga disana sehat semua kan . . . Zahra. . . Oh iya. . .".
Nenek melirik kearah Zahra dan menyuruhnya mendekat.
"Zahra sini sayang, umi telfon".
"Halo, assalamualaikum umi".
"Waalaikumsalam, Zahra apa kabar?".
Zahra tersenyum, secepat itukah Allah mengabulkan doa pagi harinya? Didalam hati kecilnya dia sangat bahagia.
Zahra tersenyum, secepat itukah Allah mengabulkan doa pagi harinya? Didalam hati kecilnya dia sangat bahagia.
"Zahra baik baik saja umi, umi sama abi apa kabar?".
"Alhamdulillah baik sayang, ini sangat kangen Zahra, besok umi dan abi akan mengunjungi Zahra".
"Beneran?". Tanya Zahra untuk memastikan perkataan umi bukanlah sekedar mimpi.
"Iya sayang".
"Asik. Umi dan abi kesini".
"Yaudah Zahra bobok dulu ya, sudah malam, umi gak mau Zahra tertidur besok".
"Siap umi, dah umi Zahra sayang umi".
"Umi juga sayang Zahra".
"Assalamualaikum umi".
"Waalaikumsalam".
Begitulah percakapan singkat diantara mereka, betapa bahagianya Zahra ketika mendengar orang yang paling dirindukannya akan hadir dihadapannya besok, doa tidak sabar malam segera berganti dengan pagi.
lihat cerita lengkapnya di:
wattpad Milikurnia19 https://my.w.tt/edyQ2z3Y94 jangan lupa di vote ya, terimakasih

Komentar
Posting Komentar